Akrab Dengan Simpul

Zoe Rahajoe
3 min readMar 8, 2022

--

6 Juni 2000, tepat di hari itu ibuku memutuskan untuk mengusirku dari rahimnya. Diberkatilah aku dengan sebuah rangkaian nama yang terdiri dari tiga kata. Fabian Elano Buana. Kurang lebih artinya — atau setidaknya yang ibuku harapkan, aku bisa menjadi seseorang yang penyayang, cerdik, dan bertahan hidup di dunia. Sumber: Ibunda (jadi maaf kalau salah).

Aku memiliki sifat yang tidak jauh dari arti namaku, aku suka berbagi kebahagiaan dengan orang yang aku sayang dengan cerita-cerita jenaka yang aku kumpulkan dari pengalaman hidupku di dunia. Boleh jadi karena sifat — yang harusnya menjadi kelebihanku — ini akhirnya aku seringkali dianggap tidak betul-betul serius dalam keadaan yang betul-betul serius. Terlalu sering bahkan, sampai di titik di mana aku menganggap diriku tak lebih dari sekadar candaan. Kau boleh panggil aku terlalu sensitif, tapi itu yang kurasakan, dan aku masih belum tahu bagaimana cara mengatasinya.

Sekarang mari kita mengenal keterampilanku. Sejak aku masih harus memakai seragam berwarna putih merah, aku punya ketertarikan yang sangat tinggi terhadap seni. Mulai dari buku pelajaran, lemari, hingga tembok kamarku penuh dengan gambar. Ada yang selesai, ada juga yang tidak. Tapi aku menikmati segala prosesnya, aku merasa bisa mengekspresikan visi yang kupunya di kepala kecilku. Alasanku menyukai seni sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan orang pada umumnya, aku takjub dengan segala kemungkinan yang bisa muncul di dalam kepalaku, dan aku ingin orang lain melihat apa yang ada di bayanganku. Tengkorak yang memenjara otakku tak bisa menghentikan aktivitasnya untuk terus berkelana ke tempat-tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, berkolaborasi dengan otot jariku yang tak henti-henti berdansa di atas kertas (atau iPad), berusaha menghidupkan khayal.

Seni menyadarkanku bahwa sekolah yang terlalu berorientasi pada nilai akademik bukanlah jalan yang cocok untukku. Setiap pertengahan dan akhir tahun pelajaran, raporku penuh dengan tinta merah. Orang tuaku tidak pernah menunjukkan rasa kecewa mereka terhadapku, tapi aku selalu merasa aku hanya bisa menjadi beban untuk mereka. Pasti sangat merepotkan harus bolak-balik datang ke sekolah, memenuhi panggilan guru karena anaknya tidak becus menimba nilai.

Tapi tenang saja, hal itu tidak menghentikanku mencintai seni, aku senang bisa berbagi rasa lewat karya. Aku senang kalau orang lain menikmatinya, menginterpretasikan karyaku dari kacamata mereka. Aku harap kalian juga rasakan hal yang sama.

Ada satu fakta tentangku yang awalnya kurahasiakan, walaupun sekarang mungkin sudah menjadi rahasia yang sangat umum di kalangan teman-teman terdekatku. Aku, yang terlahir sebagai seorang laki-laki, menyukai perempuan, juga laki-laki, juga mereka yang tidak secara pasti mengidentifikasi dirinya sebagai suatu gender tertentu. Hal itu saja sebenarnya sudah cukup membuat hidupku terkucil, ditambah lagi dengan tuntutan dari dunia bagi kita yang sedang beranjak dewasa untuk mengenal diri sendiri dengan pasti. Aku merasa dunia mengharuskan aku untuk memberi cap yang absolut, definit, jelas, dan kategoris untuk diriku sendiri. Padahal aku sendiri juga masih dalam proses menjawab pertanyaan “Siapa, apa, dan bagaimanakah seorang Fabian Elano Buana?”

Kita sama-sama tahu, kita tinggal di negara yang sangat beragam, tapi lucunya masih sangat tabu dengan perbedaan. Tidak hanya tentang seksualitas saja, aku rasa banyak orang di negara ini yang masih melihat mimpiku untuk menjadi seniman sebelah mata. Tidak pasti, katanya. Banyak yang ingin menjadi pengacara dan dokter, kenapa memilih jalan yang tidak umum?

Sampai sekarang aku masih tidak mengerti kenapa mereka terlalu terobsesi dengan segala yang pasti. Menganggap semua hal yang umum adalah yang paling benar. Mereka tidak sadar bahwa di luar sana masih banyak orang seperti aku yang menyukai kebebasan dan hidup dalam ketidakpastian. Bagiku itu menyenangkan, penuh kejutan.

Tapi, ya, sudahlah. Aku tidak bisa mengontrol pandangan orang terhadap dunia. Sama sepertiku, mereka punya visi dan cara hidup mereka sendiri. Yang bisa aku lakukan hanyalah menerima diri, dan memusingkan masalahku sendiri.

Dalam hidupku yang sangat akrab dengan simpul ini, banyak malam yang kuisi dengan dialog mesra bersama diriku sendiri, seringkali malam-malam itu berakhir dengan hujan air mata, tapi kubiarkan rasaku merasakan apa yang harusnya dia rasakan.

Ada beberapa hal tentang diriku yang masih belum bisa kumaafkan, semoga nantinya aku bisa mengampuni hati kecilku, semoga nantinya aku bisa meninggalkan dunia dalam keadaan tentram dan damai dengan diri sendiri.

Maaf kuhaturkan untuk kalian yang pernah atau sedang berekspektasi padaku, maaf belum bisa jadi sempurna.

Terutama untuk ibu, maaf belum bisa memberi laporan nilai yang penuh dengan tinta hitam. Nanti Fabian buatkan lukisan saja, ya, Bu? Maaf Fabian cuma bisa itu.

brought to you by,

© zumakore

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Zoe Rahajoe
Zoe Rahajoe

Responses (3)

Write a response