Asa

Zoe Rahajoe
7 min readNov 7, 2021

--

Roehana sudah duduk di warung depan kampus mereka selama 15 menit, seringkali melihat kamera di gawainya, memastikan penampilannya sudah cukup presentable untuk bertemu dengan laki-laki yang belum lama ini dekat dengannya. Tujuan mereka hari ini sebenarnya hanya ke Kampoeng Ilmu, sebuah tempat di Jalan Sumatra yang menjual buku-buku dan komik bekas. But for Roe, it’s more than that. This guy — you know who — is very special.

Selama Roehana menunggu, banyak sekali hal-hal — atau bisa dibilang juga kecemasan — yang muncul di kepalanya.

“Isn’t this too fast? Dia bukan om-om pedofil yang menyamar menjadi anak kuliahan, kan? Is he going to do something bad to me? Kalaupun semua itu nggak bener, I’m still worried if the date went wrong and I’m the one who ruined it, and we’ll never ever talk to each other again.”

While Roehana is still too busy trying to catch up with her thoughts, Gie Mahavir, the guy she — and you guys, probably — has been waiting for is here. Tidak perlu waktu lama untuk Gie mengenali Roehana. Even just by looking at her back, he knew it was her.

“Roehana?”

Suara itu membuyarkan semua possible conversation yang sedari tadi sudah Roehana rancang di kepalanya.

“Gie, ya? Hai!” kata Roehana sedikit kaget.

“Salam kenal, Roe”

“Eh, kan udah kenal?”

“Gapapa, kenalan lagi, hahahah” jawab Gie sambil menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal.

“Ini gimana ke sananya? Kita naik bus kota kan jadinya?”

“Iya, tapi nunggu agak sore dulu, gimana? Takutnya kepanasan kalau berangkat sekarang, sekalian nunggu busnya juga”

“Oh, okay, tiketnya gimana?”

“Saya sudah tukarkan botol kemarin, ini masih ada stok tiket, kok. Cukup untuk pulang pergi” Gie menunjukkan aplikasi bus kota yang ada di gawainya.

“Canggih juga” batin Roe. Dia selama ini belum pernah pergi ke tempat seperti Kampoeng Ilmu, apalagi naik bus kota yang tiketnya hanya bisa didapat dengan cara menukarkan botol plastik bekas. Bukannya tidak mau atau bagaimana, Roehana bukan orang yang suka pergi sendirian, dan dia tidak punya teman yang bisa diajak ke tempat seperti ini, biasanya kalau dia pergi dengan teman-temannya, dia akan pergi ke cafe atau mall. Membosankan memang, tapi itu cara teman-temannya menghabiskan waktu bersama dan Roehana menghargainya.

“Kamu sudah lama tunggu saya di sini?”

“Nggak kok, makanya tadi aku juga kaget kok kamu udah dateng aja”

My class got cancelled, actually. Tapi tadi saya baca buku dulu sebentar sampai agak lupa waktu,” Jelas Gie dengan terkekeh.

Akhirnya mereka menghabiskan waktu selama kurang lebih satu setengah jam di warung tersebut, membicarakan banyak hal secara asal sebelum akhirnya Gie mengajak Roehana ke halte bus karena sebentar lagi adalah jadwal keberangkatan bus mereka.

Saat mereka tiba di halte bus, mereka melihat ada seorang anak SMP yang sedari tadi duduk namun tidak menaiki bus apapun. Gie mendatangi anak itu dan memberinya air mineral yang baru dibeli dari warung tadi.

Satu hal baru yang Roehana tau tentang Gie: dia adalah orang yang sangat perhatian dan suka mengobrol dengan orang asing.

“Kamu kenapa suka ngobrol dengan orang asing, sih? Nggak takut ngerasa canggung tau gimana gitu?” tanya Roehana, benar-benar penasaran.

“Nggak kalau canggung, karena saya tau mereka juga butuh teman bicara. Aneh, memang. Tapi kadang saya rasa lebih leluasa berbicara dengan orang asing daripada dengan orang yang sudah saya kenal. Dan saya mendapatkan banyak pelajaran dari mereka”

“Pelajaran gimana maksudnya?”

“Kalau kita ke tempat-tempat seperti warung tadi, atau halte bus ini, atau di pinggir jalan, kita akan bertemu dengan orang-orang yang kehidupannya tidak seberuntung kita. Memang, kebanyakan dari mereka nggak dapat pendidikan yang layak, menyedihkan memang. Tapi, mereka adalah kaum marjinal, pejuang sejati, yang setiap harinya harus memperjuangkan hidupnya demi sesuap nasi, mereka yang paling tau bagaimana kejamnya hidup di “lapangan”. Dilihat sebelah mata, diperlakukan dengan semena-mena, itu semua makanan sehari-hari bagi mereka. They taught me about life, about the reality, saya jadi tau seberapa bajingannya pejabat dan rusaknya sistem peradilan di Indonesia karena mereka. Jadi saya rasa, kalau mau belajar tentang politik, hukum, ekonomi, sosial, itu ya harus belajar dengan mereka.”

Roehana tidak berhenti dibuat kagum oleh cara berpikirnya.

Setibanya mereka di Kampoeng Ilmu, seorang laki-laki paruh baya menghampiri Gie dan memeluknya.

“Tambah ngganteng ae, le” kata laki-laki tersebut dalam bahasa Jawa, yang artinya “Tambah cakep aja, nak”

“Ohya, pak, kenalin ini Roehana,”

Roehana mengambil tangan laki-laki tersebut lalu menempelkannya di keningnya.

“Roe, ini Pak Nur.” lanjut Gie.

“Salam kenal, cantik. Pacarnya Gie ta ini?” tanya Pak Nur, menggoda mereka.

“Belum, pak. Hahahah” balas Gie, meminta persetujuan Roehana yang sekarang sedang salah tingkah.

“Yaudah, ayo, masuk. Mau cari buku apa?” ajak Pak Nur menghentikan percakapan tadi.

Roehana pun memasuki toko buku milik Pak Nur. Toko bukunya kecil, kira-kira berukuran 3x3 meter saja, isinya penuh dengan buku. Mulai dari buku baru, hingga buku bekas, semuanya ada di sini. Sempit dan panas memang, tapi buku-buku lawas yang ada di sini membuat Roehana tidak menghiraukan itu.

Kalau dipikir-pikir, semua buku bekas dan lawas yang sekarang terjejer di rak ini dulunya punya pemilik dan ceritanya masing-masing, semua buku itu punya sejarahnya masing-masing, dan pasti ada alasan dibalik kedatangan setiap buku itu ke toko ini, alasan kenapa pemiliknya memutuskan untuk melepaskan salah satu koleksinya itu.

Buku yang dijual di sana bisa dibilang sangat murah, dengan uang tiga puluh ribu rupiah kamu sudah bisa mendapatkan buku dengan ketebalan kurang lebih dua ratus halaman. Harganya juga dipengaruhi oleh kondisinya, ada yang masih bagus dan tidak ada coretan sama sekali, namun tidak sedikit juga yang sudah sangat usang, berdebu, banyak sekali lipatan dan coretan, bahkan ada juga halaman yang sudah robek. Tapi menurut Roehana, itulah uniknya. Itu yang dia cari, dia ingin mencari tau apa isi pikiran orang lain — atau pemilik buku yang terdahulu — ketika membaca buku tersebut. Karena memang hakikatnya, membaca adalah berdialog dengan tulisan.

Hey, Roe. Bisa ke sini sebentar?” panggil Gie.

Roehana menghampiri Gie di depan toko tersebut dan melihat Gie menggenggam satu buku. Sampul bukunya bagus sekali, berwarna biru dan putih dengan sentuhan klasik.

“Ini buku ibu saya,”

Perempuan Melayu yang Tak Pernah Layu, Cinde Prameswari.

“Ini novel etnografi begitu, tentang perempuan nusantara, kamu mau baca?” tawar Gie.

“Mau, mau banget!”

“Okay, saya beliin ya”

“Nggak usah, aku aja yang beli, aku yang mau baca”

“Eh, gapapa, saya aj-” belum sempat Gie menyelesaikan kalimatnya, buku itu sudah direbut oleh Roehana.

“Ini buku mama kamu, dan aku mau support karya mama kamu, this is the least I can do”

Fine, tapi saya traktir kamu minum di warung itu, ya?” paksa Gie.

“Yaaudah okaay, terserah kamu” jawab Roehana terpaksa.

Setelah membayar buku itu dan pamit pada Pak Nur, mereka berdua duduk di warung yang letaknya di tengah Kampoeng Ilmu, dikelilingi toko-toko buku. Roehana melihat pemandangan yang sangat asing di warung itu. Semua orang yang ada di sana menghabiskan waktu dengan membaca, membicarakan bukunya, atau hanya mengobrol, tapi tidak ada dari mereka yang memegang gawai.

Gie datang membawa dua minuman dan menaruhnya di meja mereka.

“Gie, is it okay if I smoke?”

Ini pertanyaan yang sedari tadi ditahan oleh Roehana, kita semua tau bagaimana pandangan masyarakat terhadap perempuan yang merokok. Roehana takut Gie akan menjauhi dia karena tidak suka. Selain itu, Roehana juga takut jika Gie tidak bisa terpapar asap rokok dan membuatnya sesak napas.

Sure, ngerokok aja, I smoke sometimes juga kok”

Roehana bisa bernapas lega sekarang.

Atas izin dari Gie, Roehana mengeluarkan satu pack rokok dari tasnya. Roehana memiliki satu habit yaitu setiap dia membuka bungkus rokok baru, dia akan membalik dua sampai tiga batang rokok sambil membuat harapan di setiap batang rokoknya. Karena bungkus rokok yang dia bawa barusan dia buka, Roehana melakukan ritual tersebut di depan Gie.

“Kamu kenapa ngebalik rokoknya? Gak susah ngambil emang nanti?” tanya Gie, benar-benar penasaran.

“Oh, itu kebiasaan aja sih. Gatau dari kapan pastinya, tapi aku kalau buka rokok baru tuh suka aku balik dua atau tiga batang, terus setiap batangnya aku kasih wish, jadi harapannya kalau aku bakar nanti bisa jadi kenyataan. Atau mungkin orang yang minta rokok aku dan kebetulan ambil rokok yang aku balik nanti dapet keberuntungan dan harapan yang aku harapkan di batang rokok itu,” jelas Roehana, sedikit ragu.

“Aneh, ya?”

“Lucu,” puji Gie, tersenyum.

“Emang kamu biasanya kasih wish apa aja?”

“Dapet rumah, mobil, atau bahkan se-simple wish for a good week, gitu”

“Okay, coba balik satu batang dan kasih harapan” perintah Gie.

Roehana melakukan persis seperti apa yang diinginkan Gie.

“Rokok yang barusan, saya minta, boleh?”

“Yang ini?” Roehana memastikan rokok mana yang dimaksud oleh Gie.

“Iya, yang barusan kamu kasih wish

“Boleh, nih” Roehana memberikan batang rokok itu kepada Gie.

Gie menyalakan rokok yang dihisapnya, tak lupa menyalakan rokok Roehana juga.

“Saya boleh tau, gak? Harapan yang kamu taruh di rokok ini?” sambil menunjuk rokoknya, menghisapnya, menghirup asapnya, lalu menghembuskan asap itu kesamping, agar tidak terkena Roehana.

“Gak boleh! Cuma aku yang boleh tau” kata Roehana dengan usil, sebenarnya lebih ke malu.

“Hahahah yaudah,” pasrah Gie.

Mereka pun menghabiskan waktu mereka di warung itu, sekali lagi, membicarakan hal asal, menikmati rokok dan minuman hingga malam menyapa.

Little did Gie know, her wish was that whatever this is that she has with him, it would last, till their very last breath.

brought to you by,

© zumakore

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Zoe Rahajoe
Zoe Rahajoe

Responses (4)