Diadili Keadilan yang Tidak Adil

Zoe Rahajoe
6 min readDec 29, 2021

Di siang hari yang gerah itu, Roehana bersama dengan kawan-kawannya berkunjung ke kediaman Gie. Tujuan utamanya sebenarnya adalah memberikan dampingan kepada kedua orang tua Gie karena anak semata wayang mereka sekarang sedang ditahan dengan tuduhan palsu.

Roehana masih ingat persis kedatangannya ke rumah ini untuk pertama kalinya. Jika dibandingkan dengan sekarang, kondisi rumah itu tidak banyak berubah, tapi penghuninya terasa lebih sunyi. Saat Roehana memasuki kediaman kekasihnya itu, ia disambut oleh Cinde yang menampilkan senyum palsunya. Ia lihat di pojok ruangan ada seorang laki-laki yang sedang menikmati tembakau sambil mengarahkan pandangannya ke udara, Karna. Ayah Gie itu terlihat jauh lebih murung ketimbang biasanya, tak terdengar sepatah katapun keluar dari mulutnya. Rumah itu sunyi. Tak ada candaan-candaan cerdas Karna yang biasanya mengisi ruangan, Cinde juga tidak seceria biasanya, dan ada satu pengisi rumah itu yang seakan lenyap dari peradaban.

“Mama apa kabar?” Roehana membuka percakapan.

“Kamu mau jawaban jujur atau dibedakin?” gurau Cinde.

“Jujur dong, Ma.” balas Roehana, tersenyum.

“Mama baik, kok, Nak. Jangan khawatir, ya? Kalau kamu gimana?”

“Bingung, Ma. Hahahah”

Cinde mengusap keringat yang menetes di pipi Roehana, “Mama juga, Nduk.”

“Ohya, Ma. Kenalin ini temen-temen Roehana. Ada Fabian, Ariesta, Dikta, Cecilia sama Ivana.”

Satu persatu dari mereka bergantian mencium tangan pada Mama Cinde.

“Ayo, duduk, Nduk, Le. Mama buatkan minum sebentar.”

“Eh, nggak usah repot-repot, Ma.” ucap Dikta.

Ndak repot, Cah Ngganteng. Rapopo. Wes, duduk dulu, santai dulu, abis panas-panasan, toh?”

Dengan itu, Cinde pergi ke dapur untuk mempersiapkan jamuan bagi para tamu spesial siang ini.

Karna yang sedari tadi masih sibuk dengan asap dan tembakaunya memutuskan untuk bergabung ke ruang tengah dan menyapa semua orang yang ada di situ.

“Papa, apa kabar?” tanya Roehana.

“Gitu, deh. Hahahah.” balas Papa singkat.

Mereka duduk ditemani oleh keheningan sampai akhirnya Cinde datang membawa minuman yang ia buat.

“Papa tau kenapa kalian semua kesini dan pertama-tama papa mau ucapkan terima kasih karena kalian sudah meluangkan waktu kalian repot-repot ke sini.”

“It’s nothing, Pa.”

No, this isn’t nothing. Kalian sudah baik sekali mau datang ke sini dan membantu Gie.” debat Karna.

“Oh, ya, Pa… Gie kemarin ditangkap intel polisi di perjalanannya ke rumah aman, itu bener, Pa?” tanya Dikta.

“Ya,” jawab Karna, singkat.

“Papa sama Mama bisa ceritakan kronologinya?”

Sore itu, Gie sedang di dalam kamarnya, berkutat dengan buku bacaannya. Tiba-tiba muncul notifikasi di gawainya, isinya adalah kode OTP untuk masuk dan mengakses WhatsApp-nya dari perangkat lain. Saat ia mencoba membuka aplikasi WhatsApp-nya, muncul tulisan “You’ve registered your number on another phone.” dan ia sama sekali tidak bisa membuka aplikasi tersebut. Pikiran Gie langsung tertuju pada cuitannya di twitter tentang bagaimana organisasi Angkatan Muda Partai Ukir Negri menjebaknya menjadi salah satu wakil ketua organisasi. Ia tahu pasti bahwa ini adalah perbuatan mereka, meretas WhatsApp-nya untuk mendapatkan informasi privatnya, begitu pikir Gie.

Gie langsung mengambil tindakan, mencuit kabar mengenai WhatsApp-nya yang tidak bisa diakses dan menghimbau teman-temannya untuk tidak berkomunikasi dengannya lewat WhatsApp. Bahkan ia menghimbau teman-temannya untuk mengeluarkannya dari grup agar informasi di dalamnya tidak bocor.

Ia tahu pasti bahwa usaha untuk membungkamnya tidak akan berhenti di sini. Ia juga yakin bahwa sekarang ia sedang ada di dalam bahaya yang mengancam. Secepat mungkin Gie berlari dari kamar menuju ruangan ibunya untuk menceritakan kejadian ini agar jika nantinya terjadi sesuatu pada Gie, orang tuanya tahu bahwa anaknya tidak terlibat dan posisinya di sini adalah korban. Mendengar istrinya yang menjerit kaget, Karna masuk ke dalam ruangan itu dan menanyakan apa yang terjadi. Gie mengulang perkataannya persis seperti apa yang ia ceritakan pada ibunya. Ayahnya yang selama ini tidak pernah berbicara padanya — setelah terjadinya penjebakkan itu — pun membuka mulutnya, memulai percakapan yang sudah lama dirindukan oleh Gie, berusaha mencari jalan keluar bersama-sama.

Karena mereka semua pikir ini hanya sebatas usaha untuk menyebarkan informasi pribadi Gie, mereka memutuskan untuk menonaktifkan WhatsApp Web di akun Gie. Gie melakukan persis seperti yang sudah direncanakan. Ia menekan tombol “Logout of all computers.” di WhatsApp Webnya.

Sekarang sudah bisa tenang, batinnya.

“Tapi, Pa, setau saya kalau WhatsApp diretas, hacker-nya nggak bisa lihat pesan yang ada di akun itu. Karena sistem penyimpanan WhatsApp itu di internal storage, bukan di cloud storage. Jadi walaupun memiliki akses ke akunnya, jika dibuka lewat device lain percakapan sebelumnya tidak akan bisa diakses.” timpal Ariesta di tengah cerita Karna.

“Ya, kami tidak tau tentang itu, tidak terpikirkan sama sekali malah. Entah apa yang membuat pikiran kami sangat pendek kemarin, kami tidak memikirkan bahwa peretasan ini motifnya lebih dari hanya sekedar doxing.” balas Karna.

“Sehabis Gie mengeluarkan akunnya dari segala perangkat, tidak ada tindakan lain yang dilakukan, kah, Pa?” tanya Cecilia.

“Tidak, dari Gie tidak ada. Tapi Papa sempat telepon dan mengabari keponakan Papa agar mempersiapkan kendaraan untuk menuju ke rumah aman jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Walaupun terlihat diam dan tidak peduli pada nasib anaknya, Karna sangat memikirkan keselamatan anak semata wayangnya itu. Dari tiga orang yang tinggal di rumah yang terletak di Jalan Dr. Soetomo ini, hanya Karna yang sudah mengantisipasi terjadinya hal buruk seperti ini.

“Saya dengar, sudah sempat jalan menuju rumah aman ya, Pa, sebelum ditangkap?”

Kira-kira pukul tujuh malam, Gie menerima informasi dari Dikta bahwa ada pesan provokatif yang terkirim dari nomor WhatsAppnya. Gie yang awalnya tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi langsung menghubungi Ariesta, Ketua BEM FISIP yang juga merupakan teman baik Gie. Tujuan Gie menghubungi Ariesta yaitu untuk meminta tolong bantuan pada LBH dan menceritakan kejadian ini kepada Ariesta agar bila besok Gie tak terdengar lagi kabarnya, Ariesta tahu apa yang terjadi padanya.

Perbincangan mereka cukup lama, berlangsung selama kurang lebih 20 menit, di dalam perbincangan itu mereka sudah mendiskusikan mengenai urusan bantuan hukum dan juga solusi agar Gie bisa setidaknya aman sampai esok pagi. Di akhir percakapan mereka, Gie berpamitan kepada Ariesta karena ia akan menonaktifkan ponselnya dan mencabut SIM Card-nya.

Urusan Gie dengan Ariesta selesai, sekarang saatnya ia berurusan dengan kedua orang tuanya. Karna dan Cinde masing-masing menerima notifikasi pesan provokatif itu di ponsel mereka, dan mereka tahu bahwa ini bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Pesan ini berpotensi membuat Gie bisa terjerat pasal hukum.

Dengan itu, Karna Gita Surga memerintahkan Gie untuk bersiap diri, membawa barang-barang penting dan yang sekiranya dibutuhkan di rumah aman. Keponakan Karna yang sedari tadi sudah standby di telepon untuk menunggu kabar dari Karna juga sudah mengabari bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju Jalan Dr. Soetomo untuk menjemput Gie.

Karna dan Cinde melepas kepergian Gie menuju ke rumah aman tanpa mengetahui bahwa itu adalah saat terakhir mereka melihat anaknya dengan kedua mata mereka.

“Posisi Gie sekarang ada di mana, Ma?” Roehana sudah tidak mengontrol kekhawatirannya terhadap Gie.

“Ditahan di Polrestabes Surabaya, Nduk.”

Mendengar itu, Roehana langsung lemas, nyawanya seakan terbang, hilang, meninggalkan tubuhnya. Pori-pori tubuhnya semakin giat memproduksi minyak, didukung oleh kecemasan yang melandanya. Semua rencana untuk menyelamatkan Gie yang sudah mereka persiapkan sedemikian rupa juga melayang entah kemana. Yang Roehana tahu, isi hati dan otaknya sama, hanya satu, satu nama, Gie.

“Pagi tadi sebelum kalian ke sini juga ada beberapa orang dengan perawakan seram yang datang ke sini, mereka menyampaikan bahwa tujuan mereka ke sini adalah untuk melakukan penggeledahan. Waktu Papa meminta bukti dan surat ijin penggeledahan, mereka tidak bisa menunjukkannya. Mereka memaksa untuk masuk, dan mereka berhasil. Mereka langsung masuk ke kamar Gie dan menyita laptop-nya sebagai barang bukti.”

“Tapi Mama sama Papa beneran nggak apa-apa kan? Kalian nggak diapa-apain kan? Nggak ada yang sakit kan?”

“Bukan kita, Nduk, yang seharusnya kamu tanya seperti itu. Bukan kita yang sedang sakit dan dimanipulasi,” tukas Karna.

“Tapi hukum negara ini.”

Ultimatum Karna itu seakan menyadarkan keenam anak muda di ruangan itu tentang tugas dan tujuan mereka, tentang alasan utama mereka ada di sini.

Negara ini sakit, dan kita tidak bisa tinggal diam.

brought to you by,

© zumakore

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Zoe Rahajoe
Zoe Rahajoe

Responses (3)

Write a response

Negara ini sakit, dan kita tidak bisa tinggal diam.

periodddtttttt

--

“Tapi hukum negara ini.”

this thing buzzin

--

lekas pulih…

--