Kerajaan Para Bedebah

Zoe Rahajoe
4 min readDec 14, 2021

--

Butuh waktu cukup lama bagi Gie untuk sampai di tempat pertemuan organisasi mahasiswa ini. Awalnya Gie kira tempat yang akan digunakan adalah rumah salah satu anggota atau pimpinan organisasi tersebut, ternyata mereka mempersiapkan gedung yang walaupun tidak terlalu besar, tetapi sudah terlihat sangat mewah untuk pertemuan dialog organisasi mahasiswa.

Gedung tempat pertemuan ini terletak di tengah kota, posisinya lumayan dekat dengan balai kota. Gie memasuki gedung itu dan ia melihat ada banyak meja bulat dengan 6 kursi melingkarinya, di bagian depan terdapat layar proyeksi dan satu meja panjang. Layar proyeksi itu mati, Gie kira mungkin layar itu tidak akan digunakan nanti.

Setelah menunggu selama 3 menit, Gibran pun mendatangi Gie dan mereka saling bersalaman.

“Havir, mari! Tempat duduk kita di sana.” ajak Gibran sambil menunjuk sebuah meja di samping kiri.

Gie mengikuti Gibran menuju meja tujuan mereka. “Oke, Gib. Eh, ngomong-ngomong gue nggak tau ini diskusinya bakal segini meriahnya, banyak ya yang datang?”

“Ah, nggak juga kok , Vir. Ini cuma dari cabang Jawa Timur aja.”

Gie mengernyitkan dahinya. “Cabang? Gede dong organisasi ini?”

“Hahahah, bisa dibilang gitu, deh. Ntar lo bakal ketemu ketuanya, duduk dulu aja di sini.” Gibran mempersilahkan Gie untuk duduk tepat di sebelahnya.

Mereka tidak banyak berbincang, hanya sesekali Gibran menanyakan tentang studi Gie dan kritik-kritiknya di twitter. Gibran lebih sibuk menyambut orang-orang yang baru datang dan mempersilahkan mereka duduk di kursi masing-masing.

Tak lama setelah itu, Gibran menepuk pundak Gie dari belakang.

“Vir, kenalin ini Gusti, ketua organisasi ini yang nanti akan memimpin diskusi kita.”

Gie menjabat tangan Gusti sambil tersenyum “Salam kenal, Gusti.”

Pleasure to know you, Havir. Maaf ya gue harus ke yang lain dulu, ntar kita ngobrol lagi ya.” balas Gusti sambil tersenyum.

Gie kembali ke tempat duduknya dan menunggu acara itu untuk dimulai.

Let’s get this over with, batin Gie.

Hal yang sedari tadi ditunggu Gie akhirnya datang, pembukaan acara.

Gusti membuka acara dengan mengucapkan salam, berterimakasih pada anggota yang sudah menyempatkan waktu untuk hadir, kemudian menyambut beberapa pimpinan organisasi itu. Sedari tadi Gie tidak mendengar nama instansi apapun, hal itu membuat Gie semakin penasaran sebenarnya organisasi mahasiswa apa yang sedang ia hadiri sekarang? Mengapa mereka memiliki dana yang sangat besar untuk menyewa gedung dengan makanan prasmanan hanya untuk sebuah acara diskusi?

Gie tak sadar namanya pun disebut oleh Gusti dalam kata sambutannya itu. “Hari ini kita semua kedatangan seseorang yang spesial yaitu: Mahavir.” ucap Gusti, menunjuk Gie.

Semua orang tepuk tangan atas sambutan itu, namun ternyata Gusti tidak berhenti berbicara sampai di situ. Ia menghampiri tempat duduk Gie lalu merangkulnya.

“Yak, teman-teman sekalian… Mulai hari ini, Mahavir akan menjadi bagian dari kita. Mari tepuk tangan untuk Wakil Ketua Bidang Sosial Budaya kita!”

Hati Gie berhenti berdetak untuk sepersekian detik.

“Nggak! Bukan!” elak Gie dengan menggelengkan kepalanya dan melepas rangkulan Gusti. Gie sudah tidak bisa mengatur perilakunya lagi.

“Iya, Vir. Kamu menjadi bagian dalam organisasi Angkatan Muda Partai Ukir Negri, selamat ya.” Gusti menjabat tangan Gie secara paksa.

Gie berusaha menepis tangan Gusti. “Saya di sini hanya untuk diskusi. Saya diundang oleh Gibran untuk berdiskusi di sebuah organisasi mahasiswa, saya tidak pernah setuju untuk menjadi wakil ketua organisasi sayap partai ini.”

Gie berusaha menjelaskan keadaannya dan perkataannya itu dibalas oleh keheningan.

Gusti tertawa “Tidak ada yang bernama Gibran di sini, Vir. Dan kamu bahkan sudah menandatangani surat persetujuan.”

Proyektor itu dengan jahatnya menunjukkan sebuah surat dengan tanda tangan palsu Gie yang menunjukkan persetujuan Gie untuk dilantik menjadi wakil ketua.

Bajingan.

“Tiga puluh menit lalu Gibran baru mengenalkan saya kepada kamu, Gusti.”

“Kamu ini ngomong apa, sih, Vir? Kita kan sudah lama kenal.” dengan lihainya mulut itu memanipulasi keadaan sehingga membuat Gie terlihat seperti orang gila di mata semua orang yang hadir di tempat itu.

“Saya dijebak! Saya tidak pernah menandatangani surat itu. Saya punya bukti bahwa Gibran mengundang saya ke acara ini.” Gie membuka ponselnya dan berusaha mencari percakapannya dengan Gibran di Twitter.

Bajingan tengik! Dia menonaktifkan akunnya.

Bodohnya, Gie tidak mengambil tangkapan layar dari percakapan itu, buktinya hilang. Gibran yang sedari tadi pamit untuk ke toilet pun tidak pernah kembali.

“Gimana, Vir? Sepertinya kamu sedang tidak enak badan, sehingga membuat kamu berhalusinasi seperti ini.” Gie rasa Gusti sudah ahli dalam hal memanipulasi keadaan, tidak ada tanda kebohongan yang bisa ia temukan di wajah Gusti sewaktu melontarkan kalimat-kalimat kotor itu.

“Baik, teman-teman sekalian, maaf, ya. Sepertinya wakil ketua kita sedang butuh istirahat, baiknya mungkin Havir duduk dan menenangkan diri dulu.”

Gie bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Apik sekali pentas mereka, tidak ada celah tipuan yang terlihat.

PUN atau Partai Ukir Negri adalah partai pendukung pemerintah, fraksinya dungu, kerap sekali melakukan manipulasi fakta utuk melawan partai oposisi, selalu mendukung proyek bodoh pemerintah dan tidak pernah memprioritaskan suara rakyat. Gie merasa jijik dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia ada di posisi ini, menjadi bagian dari organisasi sayap PUN?

Satu hal yang Gie tahu, semua ini sudah direncanakan dan dipersiapkan sedari lama tanpa sepengetahuannya. Pemerintah ingin membungkam dia.

Tapi bagi Gie, politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.

brought to you by,

© zumakore

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Zoe Rahajoe
Zoe Rahajoe

Responses (2)

Write a response