Malam itu, di Jalan Dr. Soetomo

Gie baru saja pulang dari kampus dan bergegas menuju kamarnya untuk berganti pakaian dan siap-siap menyantap makan malam yang sudah siap terhidang di atas meja makan. Menu makanan malam ini adalah chinese food. Ada sioke, siobak, dan nasi goreng yang tidak lupa diberi perasan jeruk nipis. Mungkin kalian semua menganggap ini aneh, tetapi memakan nasi goreng dengan jeruk nipis merupakan kebiasan orang yang tinggal di Makassar, dan ayah Gie pernah lama tinggal di sana.
Selesai mengganti pakaian, Gie pun bergegas menuju meja makan karena kedua orang tuanya sudah menunggunya di sana.
House Rules #1: Makan malam tidak akan dimulai sampai semua anggota keluarga berkumpul di meja makan. Kalau ada halangan atau urusan lain, harus dikomunikasikan.
“Ini papa yang masak?” tanya Gie membuka percakapan di meja makan itu.
“Iya dong, mamamu sibuk nulis terus! Kalau nunggu dia nanti kita nggak makan-makan.” balas ayah Gie sambil mengambil makanan.
“Ya, kan, bisa beli di luar!” saut ibu Gie.
“BOROS!” Gie dan ayahnya kompak menyauti sang ibu yang kemudian disusul dengan tawa dari ketiga orang itu.
Mereka pun menikmati makanan mereka masing-masing. Gie tahu bahwa ayahnya memang merupakan koki yang handal. Sejak kecil setiap Gie sakit, ia akan meminta untuk dibuatkan chawanmushi, semacam telur kukus asal Jepang yang teksturnya sangat lembut. Ayah dan ibunya akan berlomba membuatkan Gie chawanmushi untuk membuktikan masakan siapa yang paling enak. Gie tidak pernah mengatakan ini langsung pada mereka berdua, tapi chawanmushi buatan ayahnya adalah yang terbaik menurutnya, namun ayah dan ibunya merasa they make their own best chawanmushi.
House Rules #2: Jam setelah makan malam adalah quality time keluarga. It’s gossip and spilling tea time!!
Ayah Gie menyeruput teh, mengerutkan alisnya, menelan tehnya, dan menaruh cangkirnya secara perlahan. Ini adalah gerakan pembuka percakapan setiap malam.
“Tadi papa ketemu Pak Nur, katanya kapan hari Gie ke sana dengan perempuan, itu betul?”
Pertanyaan dari ayah Gie itu pun mengundang tawa ibu Gie yang sedang merokok sehingga membuatnya terbatuk-batuk.
“Kamu kenapa ketawa?” tanya ayah Gie kepada ibu Gie dengan bingung.
“Le, kamu ndak bilang papamu, tah?”
Gie meringis, “Gie lupa, ma, pa. Heheh, maaf. Tapi Gie beneran udah mau cerita sebenernya. Cuma… Gie jarang di rumah, kan. Dua hari ini Gie aja nggak makan malem bareng, jadinya belum sempat cerita.”
“Nyoh, rokokan sek ben ora salah paham.” ucap ibu Gie sambil melemparkan sebungkus rokok ke arah dua laki-laki di depannya. Kira-kira artinya, “Tuh, ngerokok dulu biar nggak salah paham.”
Gie dan ayahnya pun mengambil masing-masing satu batang rokok dan menyalakannya.
“So, that girl is actually named Roehana Pratibha, dia temen satu fakul — “
“Roehana?” potong ayah Gie.
“Iyo, Roehana. Bagus, ya?” sahut ibu Gie ikut masuk ke dalam percakapan itu.
“Gie tau papa bakal notice itu, hahahah. Nama dia itu dari Roehana Koeddoes, papa tau, kan?”
“Her parents must be into history, bagus namanya. Jurnalis perempuan pertama di Indonesia, masih saudara dengan Sutan Syahrir, lho, beliau itu,” ucap ayah Gie kagum.
“Roehana teman kamu ini juga suka dunia jurnalistik, kah?” sambung ayah Gie dengan pertanyaan, ia mulai penasaran dengan perempuan yang sedang dekat dengan anaknya ini.
“Suka, dia CEO e-magazine gitu, ada di Instagram sama website.”
“Papa mau kenalan, dong. Ajak dia ke sini besok untuk makan malam, mau nggak, ya? Papa masakin lagi.” ayah Gie terlihat sangat senang ketika merencanakan hal ini, matanya berbinar-binar.
“Coba nanti Gie tanya dulu, ya.”
“Papa mau ngobrol sama dia, she sounds very smart and inspiring.”
“She is.” balas Gie tersenyum membayangkan wajah Roehana.
“Nanti dia takut mau ngobrol sama kamu, Na! Wajahmu kan seram, biar dia kenalan sama aku dulu.” goda ibu Gie pada ayah Gie.
“Kamu terus yang pertama! Biarlah kenal sama aku dulu, nggak suka sekali suaminya seneng.”
Gie tertawa mendengar percakapan itu, ayah ibunya ini memang sangat sering bertengkar dan adu mulut tentang hal kecil yang tidak penting. Kadang dia bingung bagaimana mereka bisa bertahan dalam pernikahan selama 30 tahun dengan dinamika seperti ini.
House Rules #3: Piket cuci piring ditentukan dengan gunting, batu, kertas sehabis mengobrol.
Gie dan ayah ibunya mempersiapkan diri untuk pertarungan atas kemerdekaan mereka untuk semalaman. Pertarungan gunting, batu, dan kertas.
“Gunting, batu, kertas!” sorak ketiganya.
Gie mengeluarkan gunting, begitu juga dengan ibunya. Ternyata, malam ini kemerdekaan tidak berpihak pada ayah Gie yang mengeluarkan kertas. Karena itu, malam ini dia harus mencuci piring! Oh, sungguh menyedihkan.
Namun, ayah Gie punya rencana brilian, “Karena Gie nggak cerita papa tentang Roehana tapi malah cerita ke mama, Gie hari ini papa hukum gantiin papa cuci piring!”
Bisa kita semua bayangkan raut wajah kedua laki-laki itu. Ayah Gie bersorak dalam kemenangan sedang Gie menunduk sambil memegangi kepalanya yang terasa berat.
Tanpa berkata apapun, Gie beranjak untuk membereskan piring di meja makan dan meletakkannya di tempat cuci piring. Gie melakukan ini karena ia agak merasa bersalah kepada ayahnya. Walaupun begitu, Gie merasa sedikit tidak terima. Maka dari itu, dengan jailnya Gie memanggil ayahnya;
“Papa!”
“Apa lagi?” tanya ayahnya membalikkan badan.
“Roehana sudah baca bukunya mama duluan!”
“Gie Mahavir, kamu cuci piring terus selama seminggu!” perintah ayah Gie, kesal karena istrinya telah menang, dalam arti telah dikenalkan kepada perempuan yang sedang dekat dengan anaknya, bahkan sebelum dia.
brought to you by,
© zumakore