Matilah Engkau Mati, Hiduplah Kau Berkali-kali

Zoe Rahajoe
10 min readJun 19, 2022

--

Kutipan diambil dari Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

Kilat cahaya yang tak lama disusul dengan bunyi ledakan keras menuntut seluruh pengendara motor dan pejalan kaki agar mencari atap untuk berteduh. Hari itu Surabaya terlihat sedang murung, angin sedari tadi ribut memporak-porandakan sekitar. Daun saling bertepuk dengan satu sama lain, menikmati tampilan yang disajikan.

Gie berlari sekencang mungkin ke arah salah satu cafe di Jalan Tunjungan untuk menyelamatkan diri dari derasnya hujan sore itu. Ia baru saja menyelesaikan agenda makan-makan bersama dirinya sendiri di kantin karyawan SIOLA yang juga terletak di jalan tunjungan. Awalnya, ia ingin berjalan-jalan sebentar sebelum kembali pulang ke rumahnya, mengelilingi Jalan Tunjungan, masuk ke Pasar Tunjungan yang langsung tembus ke Embong Malang. Semua rencana itu ternyata tidak disetujui oleh Si Pembuat Hujan, dan sekarang Gie terjebak di bawah tarup sebuah gedung lama yang terlihat sudah jauh lebih modern.

Tanpa Gie sadari, sekarang ia berdiri tepat di depan Hotel Majapahit yang merupakan tempat bersejarah bagi Indonesia, tapi juga bagi kisah cintanya. Kenang dalam keningnya mulai beredar, mencoba mengingat sebuah peristiwa yang terjadi di tempat ini. Ia ingat betul bagaimana ia memberi tahu Roehana bahwa dulunya bar yang ada di hotel tersebut merupakan bekas museum, ia juga ingat bagaimana perempuan kesayangannya itu tersenyum ketika mendengarkan ia bicara, ia ingat persis bagaimana sepasang mata cokelat milik Roehana berbinar menatapnya, lalu ke arah bibirnya, dan kembali ke matanya.

Ingatan itu menuntut Gie untuk kembali mempertanyakan keputusannya yang harus ia akui memang diambil secara sepihak. “Apakah itu adalah satu-satunya jalan keluar dari masalah ini? Apakah dengan menjauh dari Roehana aku bisa melindungi dia dan mengeluarkan diriku dari masalah ini? Apakah Roehana akan membenciku karena ini?” dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang berputar di kepala kecil itu tanpa menemukan satupun jawaban. Pandangan Gie kemudian tercuri pada bagian kiri gedung hotel tua itu, di atasnya berkibar sehelai kain berwarna merah putih yang seolah-olah sedang menggeleng menjawab semua pertanyaannya.

Rasa nyeri tiba-tiba menyerang kepalanya, tepatnya di antara tulang baji dan dahinya. Tangan Gie merogoh ke dalam kantongnya, mengambil sebuah bungkus rokok, korek, dan walkman yang dilengkapi dengan earphone. Ia ambil sebatang rokok, mengepitnya dengan kedua bibirnya, menyalakan rokoknya dan menghisapnya. Kandungan nikotin yang terdapat dalam rokok itu sudah cukup untuk setidaknya menenangkan pikirannya dan mengurangi nyeri di kepalanya.

Tak lama, HP yang ia simpan di dalam kantongnya pun bergetar. Ia membuka notifikasi tersebut dan menemukan dirinya yang diundang untuk masuk ke dalam sebuah grup di Whatsapp. Grup itu dibuat oleh Dikta dan bertujuan untuk mempermudah proses diskusi dan persiapan sebelum mereka mendaki Gunung Semeru.

“Mungkin itu adalah yang sedang aku butuhkan sekarang, setidaknya ketika aku berada di atas sana aku bisa berpikir lebih jernih.” batinnya.

Tepat pukul 08:00 pagi, Gie bersama rombongan sudah berkumpul di Terminal Bungurasih. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang dan merokok sembari menunggu bus tujuan Malang siap untuk memuat penumpang.

Dikta yang terlihat baru membeli beberapa teh kemasan botol menghampiri rombongan dan membagikan teh tersebut kepada teman-temannya. Saat giliran Gie mendapatkan jatah tehnya, Dikta menepuk pundak laki-laki itu dan menyapanya. “Bro, apa kabar?”

“Kaya sama siapa aja, Dik. Baik gue, mah. Lo gimana?” balas Gie sambil tersenyum.

“Gue gini-gini aja, sih,” jawab Dikta sembari mengarahkan pandangannya ke tutup botol teh yang sedang ia buka. “Ini pertanyaan sensitif, sih–”

Gie memotong kalimat Dikta sebelum ia bisa menyelesaikannya. “Gak usah dilanjutin, Dik. Udah tau gue arah percakapan lo kemana.”

Kedua pemuda itu tertawa kemudian meminum teh yang sedari tadi menganggur di genggaman. Tak lama, bus yang mereka tunggu pun tiba. Dengan teratur, satu-persatu anggota rombongan memasukkan barang-barangnya ke bagasi bus kemudian bergegas untuk masuk ke dalam bus. Perjalanan menuju Malang dimulai.

Sesaat setelah memasuki bus, banyak dari mereka yang langsung mempersiapkan diri untuk tidur, termasuk Gie. Perjalanan ke Malang hanya memakan waktu 2 jam. Adanya akses tol Surabaya-Pandaan membuat waktu tempuh terpangkas banyak.

Ketika Gie membuka matanya kembali, tidak terasa ternyata mereka sudah tiba di Terminal Arjosari, Malang. Namun, perjalanan menuju Desa Ranu Pane–rute pendakian yang mereka pilih–masih panjang. Mereka masih harus oper angkot ke arah Pasar Tumpang lalu naik Jeep menuju Desa Ranu Pane.

Plang bertuliskan “Selamat Datang Para Pendaki Gunung Semeru” menyapa rombongan yang sudah berbaris rapi. Formasi barisan untuk mendaki hari ini adalah sebagai berikut: Dikta berada di paling depan sebagai Leader yang bertugas untuk memimpin perjalanan, Martin, Rafael, Eric, di barisan paling terakhir ada Gie yang bertugas untuk menjaga rombongan agar tidak ada yang tertinggal. Dikta dipilih menjadi pemimpin pendakian kali ini karena Dikta sudah pernah mendaki Gunung Semeru sebelumnya, sehingga ia sudah tahu medan yang akan mereka tempuh.

Mereka memulai pendakian dengan mengikuti jalan setapak yang masih bisa dilalui motor karena tanahnya yang padat, hal ini berguna saat ada kebutuhan darurat seperti evakuasi. Tak jauh dari Pos 1, ada warung yang menyediakan berbagai minuman dan makanan ringan yang cocok untuk menjadi tempat persiapan sebelum melanjutkan pendakian.

Dari Pos 1 menuju Pos 2 jalur pendakiannya masih landai sehingga rombongan memutuskan untuk langsung melanjutkan perjalanan dan beristirahat di Pos 3. Tepat di Pos 3, ada tanjakan yang sudah siap menyambut para pendaki. Hanya dengan melihatnya saja sudah terbayang seberapa melelahkannya menanjak bukit itu.

“Istirahat dulu aja, deh.” Dikta berusaha mengatur pernafasannya.

Gie meneguk air dari botol yang sudah ia siapkan dari rumah, terlihat keringat mengucur dari kepala hingga lehernya, bercampur dengan tumpahan air minum yang tidak sempat masuk ke dalam mulutnya. Gie pun mengangguk menyetujui perkataan Dikta, semua anggota rombongan sudah terlihat sangat lelah karena sedari tadi mereka tidak berhenti.

“Di warung itu aja, Dik.” usul Martin.

Lekaslah mereka semua berjalan menuju warung tersebut, Dikta pun langsung memesankan minum untuk mereka semua. Satu jam mereka habiskan untuk beristirahat dan berbincang, energi sudah kembali terkumpul untuk berperang dengan berat carrier dan badan saat menaiki bukit terjal.

Kira-kira butuh waktu 1 jam 30 menit dari Pos 3 sampai ke Ranu Kumbolo, danau yang sering disebut sebagai surganya Gunung Semeru. Cuaca di Ranu Kumbolo sangat dingin, bahkan kabut bisa menjadi kristal-kristal es.

Gie menurunkan carrier dari pundaknya sembari berusaha mengatur nafasnya. “Stay dulu, deh, guys.

“Cakep banget, gila!” terdengar Eric dari arah depan, siap dengan ponselnya untuk mengabadikan pemandangan yang ada di depan mata.

Dikta datang dari depan dengan kamera analog terkalung di lehernya. “Masang tenda di sini aja apa gimana?”

“Boleh, sih.” Jawab Rafael, mengeluarkan tendanya.

Dikta melihat Gie yang sedari tadi memegang kaki kanannya. “Vir, kenapa kaki lo?”

“Gak, nyeri dikit. Capek doang kayanya, dipake tidur juga ntar ilang sakitnya.”

“Serius, lo? Kalo sakit lagi bilang aja, jangan dipaksain.” Dikta memperingatkan. Sebagai pemimpin pendakian itu, ia merasa bertanggung jawa atas kesehatan dan keadaan setiap orang dalam rombongan.

Gie tertawa kecil, gemas dengan perhatian yang diberikan Dikta. “Santai, pasti gue bilang kalo ada apa-apa.”

Candra mulai terlihat, perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Cuaca malam itu cerah dengan suhu dibawah nol derajat, mengingat mereka tengah berada di ketinggian lebih dari 2 kilometer di atas laut. Berlapis-lapis kain mereka kenakan untuk melindungi diri dari dingin yang menusuk tulang.

Gie terlihat sedang duduk di dekat bara api, memeluk dirinya sendiri. Tatapannya kosong, mengarah ke inti bara api yang ada di depannya. Entah karena ia terlalu dalam masuk ke dalam benaknya, atau ia benar-benar terpukau dengan api yang sedari tadi menari-nari bersama angin.

“Gak tidur, Vir?” Dikta yang muncul secara tiba-tiba mengagetkan Gie.

“Gak bisa tidur gue,” Gie menggesek kedua telapak tangannya untuk mendapatlan kehangatan ekstra. “I kinda wish she’d be here.”

“Hana?” tanya Dikta, memastikan apakah mereka sedang memikirkan orang yang sama.

“Iya. Gue beneran nggak tahu pasti yang gue lakuin sekarang itu bener apa nggak. Otak gue menganggap ini semua adalah keputusan yang bener, karena emang dari awal gue gak mau ngerepotin orang lain,”

Dikta mendengarkan Gie dengan seksama tanpa mengatakan sepatah kata, ia tau Gie hanya butuh didengarkan sekarang.

But my heart is telling me gue bakal nyesel karena gue udah ngelakuin itu.” Gie menyelesaikan kalimatnya, pandangannya tertuju pada bara api di depannya.

Can I talk?” Dikta bertanya kepada Gie, membuat Gie bingung.

“Lo kenapa pake nanya, deh? Ngomong aja, kali, Dik.”

“Ya, gue kira lo masih mau ngomong, anjing!” canda Dikta, diikuti tawa kedua pemuda itu.

To be fair, kita gak pernah tau apakah keputusan yang kita ambil itu bener apa nggak. Semua pilihan pasti ada resiko dan keuntungannya sendiri-sendiri. Gue paham kenapa lo memutuskan untuk mengakhiri hubungan nonexistent lo dengan Hana, gue tau persis maksud lo baik. But sometimes it’s okay to trust your heart. Gak semua bisa lo pikirin pake logika. By doing this, lo menyiksa Hana dan diri lo sendiri,” Dikta membenarkan posisinya, mendekatkan dirinya kepada Gie. “Lo yakin itu yang lo mau?”

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Gie. Ia seperti baru saja menyadari sesuatu. “No.”

Dikta mengangguk menyetujui. Ia menepuk pemuda yang sedang kalut dengan emosinya itu, berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “You can make it right, it’s not too late. You still have time.”

“But what if I don’t?”

Pertanyaan Gie membuat Dikta bingung. “Maksud lo gimana? Emang lo mau kemana?”

“Nggak kemana-mana, sih.” balas Gie.

“Nah, yaudah. Nggak usah mikir aneh-aneh. You have all the time in the world to make it right.”

“Gue titip Roe, ya, Dik.” ucap Gie dengan tatapan serius.

“Apa maksud lo, anjing! Lo ngomongnya kek mau pergi jauh ga balik gitu. Santai aja, Vir. Hana juga temen gue, pasti gue jagain.” gertak Dikta, sedikit bingung dengan Gie yang bertingkah aneh sedari tadi.

Gie meringis merasakan nyeri di kakinya. Dikta yang menyadari hal itu pun kembali bertanya apakah ia benar-benar mau melanjutkan perjalanan sampai ke puncak.

“Yakin lo?”

Gie meneguk obat Painkiller-nya untuk mengurangi rasa nyeri. “Dah, besok pasti sembuh.”

“Yang bener lo?” tanya Dikta, untuk yang kedua kalinya.

“Gapapa, Dik.”

Percakapan itu kemudian ditutup oleh Dikta yang berpamitan akan tidur. Tak lupa ia mengingatkan–lebih tepatnya memaksa Gie untuk tidur karena besok mereka akan melewati medan yang sulit dan terjal dan pastinya akan membutuhkan energi lebih.

Watu Gede sudah terlihat di depan mata, pertanda mereka sudah mulai memasuki tanah tertinggi yang ada di pulau Jawa. Telihat kepulan asap belerang dari bibir kawah Jonggring Saloka menghiasi langit biru pagi itu, bersatu dengan mega yang berjalan mengikuti angin.

Sudah 15 menit Dikta dan Rafael habiskan untuk mengabadikan momen ini. Wajah mereka semua dihiasi dengan senyum lebar yang tak kunjung pudar, terkagum-kagum dengan pemandangan yang disajikan oleh Mahameru.

Gie sangsi ini nyata, berdiri tepat di atas tanah tertinggi di Jawa, tempat di mana Sang Demonstran yang merupakan inspirasi di balik namanya menghembuskan nafas terakhir. Tak putus-putus pujian syukur ia haturkan kepada Sang Pembuat Hidup atas tanah dan bumantara yang berdampingan dengannya. Ia rasa ia ingin menghabiskan hidupnya di sini, bersama dengan alam.

“Vir, foto yuk!” ajak Martin, mengusik Gie yang sedari tadi sibuk dengan angan di keningnya.

Gie beranjak dari duduknya, menyusul teman-temannya yang sudah berpose di depan kamera. Setelah puas menghabiskan film di kamera analog Dikta, mereka semua kembali duduk dan melanjutkan perbincangan mereka. Gie merasakan nyeri di kakinya pelan-pelan kembali muncul. Ia ulangi lagi ritual meminum Painkiller yang entah sudah berapa kali ia lakukan selama perjalanan menuju puncak Mahameru.

Setelah meneguk obat itu, telapak tangannya seperti berkeringat dan jantungnya berdebar secara cepat. Karena merasa seperti ia butuh istirahat, ia pamit kepada teman-teman yang ada di rombongannya untuk duduk agak jauh dari mereka. Baru beberapa langkah, pandangannya terasa buram. Tetap ia paksa untuk berjalan ke arah batu yang akan ia jadikan sandaran, tetapi matanya seperti tidak setuju dan memutuskan untuk menutup rapat-rapat kelopaknya. Pandangannya hitam, kesadarannya tak tahu pergi kemana.

Gie bangun dari ketidaksadarannya, ia lihat hamparan pasir dan laut di depan matanya. Ombak seakan menyapa dan menyambutnya. Ia lihat di pojok pantai ada sebuah batu besar yang tak henti-henti terderu ombak. Di atasnya ada seorang laki-laki sedang duduk dengan pandangan kosong. Laki-laki itu memakai kemeja berwarna putih dan celana pendek berwarna hitam. Karena tidak ada lagi orang yang terlihat di sepanjang pantai ini, mau tidak mau ia harus menghampiri laki-laki yang terlihat setengah sinting itu. Maksudnya, siapa yang mau duduk di batu besar yang pastinya licin tepat di bibir pantai dengan ombak yang sangat besar?

“Permisi, pak? Ini saya ada di–” tak sempat menyelesaikan kalimatnya, ia baru menyadari bahwa laki-laki yang ia kira setengah sinting itu tak lain dan tak bukan adalah Sang Demonstran.

Gie bingung bukan kepalang. Bukannya Sang Demonstran itu sudah meninggalkan dunia ini 53 tahun yang lalu tepat di tempat di mana ia berada sebelum ia terbangun di pantai aneh ini?

“Gie..” sapa Sang Demonstran seakan sedang memanggil dirinya sendiri.

“Soe? Did you just speak to me? Is that really you? Is this real?” pernyataan yang sedari tadi menggantung di pucuk kening satu persatu lolos keluar dari bibirnya.

“Nyata atau tidaknya ini semua tergantung gimana lo menafsirkannya, Gie. So, come, sit.” Sang Demonstran menepuk batu yang ia duduki sedari tadi.

Gie pun melakukan apa yang diperintahkan pemilik nama “Gie” sebelum dirinya itu. “I have a few questions, tentang aktivisme, can i ask you?”

Sang Demonstran terkekeh. “Lo di sini aja masih mikirin itu, ya? Let it go, let it all go, Gie. Itu udah lewat, nggak usah lo pikirin lagi. Tapi gapapa kalo lo mau nanya, ask away.”

Did you struggle a lot back then?” dari banyaknya pertanyaan di kepala, hanya itu yang keluar dari mulut Gie.

I think you know the answer already, dari buku-buku yang lo baca tentang gue. But the answer is, yes. Dan sama seperti lo, gue juga struggle dengan percintaan gue,” Sang Demonstran tersenyum.

They always question our morals, tentang pihak yang kita pilih atau dukung, selalu berasumsi, memberikan cap tetek bengek. Gue yakin lo ngalamin juga.”

Gie mengangguk menyetujui Sang Demonstran. Lalu pikirannya kembali ke realita, mempertanyakan di mana dan kenapa ia berada di tempat ini.

So, where am I again?” tanya Gie.

Where do you think you are?” Sang Demonstran mengembalikan pertanyaan Gie.

Gie mengingat perkataan ibunya dulu, kira-kira begini kalimatnya. “Kamu cuma bisa ketemu orang yang sudah meninggal kalau kamu juga sudah meninggal.” Gie memecahkan enigma yang sedari tadi berputar di otaknya. Ia sudah mangkat dari dunia.

“Paham kan lo sekarang?” Sang Demonstran kembali bertanya.

Gie mengangguk, menyambut takdirnya dengan lapang dada.

They will be okay. Mereka pasti bisa hidup tanpa lo. Perlu pembiasaan, memang, tapi mereka pasti paham kalau lo pun mau mereka tetap melanjutkan hidupnya seperti sedia kala.” Sang Demonstran mencoba menenangkan Gie. Ia seperti tahu persis apa yang sedang dipikirkan oleh Gie.

“Sini, ikut gue!” ajak Sang Demonstran.

Mereka pun berjalan menuju sebuah cahaya. Gie menghentikan langkahnya tak yakin.

“Gie, Let it go.

Gie menggelengkan kepalanya. “Banyak yang belum selesai, Soe.”

You will born again, kita akan lahir kembali ke dunia sampai keadilan bisa berdiri dengan tegak di dunia.”

Wejangan itu seperti memecahkan teka-teki lain di kepalanya. Tidak tahu persis apakah ia adalah reinkarnasi dari pemilik nama “Gie” sebelumya atau tidak, tapi yang ia tahu adalah ia diutus untuk melakukan tugas yang sama dengan yang dilakukan oleh Sang Demonstran dulu. Dan ia yakin Indonesia tidak akan kehilangan para jajaran aktivisnya.

“Ma, Pa, Roe, Gie pamit ya. Aku cinta kalian semua. Aku nggak akan pernah ninggalin kalian, kita cuma beda dunia aja. Panggil namaku kalau kamu butuh aku, ya. Aku akan teruskan doamu kepada Sang Kuasa.”

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Zoe Rahajoe
Zoe Rahajoe

Responses (2)

Write a response