Pewarta Kabar Malam

TW // abuse , genocide , mentions of death
Disclamers: akan membicarakan hal-hal yang cukup sensitif di masa Orde Baru dan Orde Lama
Suara sendok yang beradu dengan gelas kaca membuat Roehana tersadar dari lamunannya. Ia sudah duduk di ruang tengah rumah ini selama 5 menit, belum lama semenjak ia tiba.
“Kamu kenapa grogi gitu, sih?” tanya Gie yang baru datang dari dapur setelah membuatkan teh untuk Roehana dan ayah ibunya.
“Keliatan banget, ya?”
“It’s going to be okay, Cantik.”
Tak lama setelah itu, ayah dan ibu Gie keluar dari ruangan mereka masing-masing menuju ruang tengah untuk bertemu dengan pemeran utama di rumah itu untuk malam ini.
“Halo, Roehana, ya?” sapa ayah Gie sembari mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Roehana pun membalas salam dari ayah Gie, “Iya, Om. Saya Roehana Pratibha. Salam kenal, Om, heheh.”
“Walah ayune toh, Nduk.” puji ibu Gie, artinya “Wah, cantiknya kamu, Nak.”
Ibu Gie lalu menjabat tangan Roehana, menariknya untuk memberikan cium di pipi kanan dan kiri Roehana.
“Makasih, Tante.”
“Panggil Macin atau Mama Cinde aja, sayang,” ucap ibu Gie sambil mengelus rambut Roehana.
“Kalau papanya Gie, namanya Karna Gita Surga, biasanya dipanggil Na, tapi kamu panggil aja Papa, ya, Sayang?” sambung ibu Gie.
“Iya, ma,” balas Roehana tersenyum.
“Nama Mama sama Papa bagus, deh.”
“Eh, kamu tau nggak, Roe? Papa dinamain Karna Gita Surga karena waktu Papa masih di perut dia suka banget dengerin musik. Kalau ada lagu tuh dia nendang-nendang. Bahkan Papa sebelum lahir tuh dimainin musik dulu baru mau keluar, ya, Pa?” ucap Gie sangat bersemangat.
“Iya, hahahah. Anehnya sampai sekarang aku gak punya bakat di musik.” kata Papa. Ironi itu membuat seisi ruangan tertawa.
“Roehana sudah kenal lama sama Gie?” tanya Papa, memulai interogasi.
“Baru dua bulan, Pa.”
“Eh, sudah, Na. Nanti saja sesi interogasinya, ayo makan dulu. Nanti keburu dingin makanannya, kan nggak enak.” ucap Mama membubarkan percakapan itu, Roehana pun menjadi sedikit lega.
Mereka berpindah ke meja makan untuk menyantap makanan yang sudah terhidang rapi. Sesuai janji, makanan malam ini adalah masakan Karna Gita Surga, alias ayah Gie.
Makanan yang disajikan sederhana, hanya makanan rumah biasa. Tetapi entah mengapa Roehana merasa makan malam kali ini sangat spesial. Bisa berada di sini bersama laki-laki yang ia kagumi dan mengenal keluarganya lebih dekat. Merasakan kehangatan keluarga Gie, merasakan cara mereka menunjukkan kedekatan dan afeksi dengan unik. Oh, Roehana berharap suatu hari nanti ia bisa tinggal di sini.
Di meja makan, mereka fokus menyantap makanan mereka. Tidak banyak pertukaran kata di antara mereka. Keempat orang itu sibuk merasakan betapa nikmatnya oseng kacang panjang dan tempe yang dikombinasikan dengan nasi itu, mereka-reka rempah-rempah apa saja yang ada di dalamnya.
Sesuai dengan budaya di rumah yang berlokasi di Jalan Dr. Soetomo ini, sekarang Gie, Roehana, Cinde, dan Karna sedang duduk di halaman belakang rumah mereka dan menghisap gulungan tembakau masing-masing.
Roehana tidak bisa menyembunyikan perasaannya, dia sangat gugup, takut orang tua Gie tidak menyukainya. Sebenarnya Roehana juga tidak tahu pasti apa yang membuat ia setuju untuk datang ke rumah ini dan bertemu dengan orang tua Gie. Gadis itu hanya percaya bahwa Gie akan terus ada di sebelahnya, mendampinginya. Roehana juga kira Gie tidak akan membiarkan orang tuanya membuat Roehana merasa tidak nyaman.
“Na, sebelum kamu tanya yang nggak-nggak sama Roeha — “ tegur ibu Gie.
“Kamu sukanya mikir jelek terus!” ayah Gie sedikit cemberut mendengar teguran dari istrinya itu.
Lucu, batin Roehana. Percakapan kecil itu mengundang senyumnya.
“Nggak gitu, Na. Maksudku, sekarang kan Roehana yang ada di rumah Gie, kita sebagai narasumber kisah hidup Gie semenjak orok harusnya mempermalukan Gie, bukannya menginterogasi anak cantik ini.”
Gie yang mendengar perkataan ibunya itu pun membelalakkan matanya.
“Kok jadi Gie, toh, yang jadi korban?” Gie terlihat sudah pasrah dengan keadaannya.
“Ya, memangnya kamu mau perempuan kesayanganmu ini ditatar bapakmu?”
“Nggak! Jangan, Gie aja, wes.” ucap Gie, diikuti hembusan asap dari mulutnya. Ia sudah benar-benar pasrah dengan keadaannya.
Karna pun mulai menyeruput tehnya, mengerutkan alisnya, menaruh cangkirnya dengan perlahan-lahan. Gerakan pembukaan diskusi malam ini ditambah dengan Karna menghisap asap dari rokoknya, menghirupnya, dan menghembuskannya.
“Nah, Nduk, kamu ada pertanyaan nggak tentang Gie? Apapun yang bikin kamu penasaran.” ayah Gie mengundang Roehana untuk berpartisipasi dalam Operasi Bongkar Aib seorang Gie Mahavir yang direncanakan oleh tak lain dan tak bukan, istrinya sendiri.
“Um, Roehana penasaran tentang hobi Gie sih, Ma, Pa. Selama ini Roehana taunya Gie cuma suka baca, nulis, dan gambar, but I’m sure he can do a lot more stuff other than that.” Roehana tanpa sadar mengikuti kebiasaan Gie dengan mengganti kata “aku” dengan namanya sendiri ketika sedang berbicara dengan kedua orang tua Gie.
“Kamu menyia-nyiakan kesempatan untuk mempermalukan Gie, lho, Roehana.” goda Cinde.
“We still have the whole night to embarrass him, Mama.” balasan Roehana ini mengundang tawa mereka semua. Oh, mungkin tidak semua. Gie terlihat sangat cemas memikirkan nasibnya.
“Gie itu suka naik gunung. Tebing, bahkan. He loves to say that he’s a climber rather than a hiker.” ujar Karna.
“Sebelum akhirnya dia patah tulang karena jatuh dari tebing dan kami berdua memutuskan untuk melarang dia climbing. Kalau naik gunung masih kami ijinkan, tapi harus sembuh total dulu. Lihat itu, bekasnya.” tambah Cinde sambil mengambil tangan anaknya itu dan menunjukkan bekas luka di balik lengan tangan kanan Gie.
“Terus-terus, Ma, Pa? Ada lagi, nggak?” tanya Roehana benar-benar penasaran.
“Sayang, aku di sini, lho. Nggak mau tanya aku aja?” goda Gie.
“Nggak. Kan aku lagi ngomong sama Mama Papa, kamu diem dulu!” sejujur-jujurnya Roehana sedang salah tingkah karena panggilan Gie barusan. Ia tahu bahwa Gie suka sekali memanggilnya dengan panggilan-panggilan sayang, tapi belum pernah benar-benar dipanggil sayang. Baru kali ini. Dan Roehana simpulkan bahwa itu tidak baik bagi kesehatannya.
“Gie bisa main beberapa alat musik. Mainly, gitar dan piano. Gie juga suka membuat musik, mau itu hanya dengan gitar dan voice recorder ponselnya ataupun dengan software di laptopnya.” jelas Cinde.
“Roehana mau denger?” tawar Karna.
“Mau, boleh?” Roehana meminta persetujuan Gie.
“Nyanyi bareng aja, mau?” tanya Gie.
“Yuk!”
“Itu aja, Gie. Donna Donna. Kamu tau, Nduk?” tanya Cinde pada Roehana.
“Tau, Ma.”
Dengan itu Gie pun mengambil gitar dari kamarnya, memposisikan diri sedemikian rupa, menyelipkan rokoknya di antara senar gitar di bagian headstock, dan mulai memetik dawai gitarnya. Kuncinya sederhana, tapi entah kenapa terdengar sangat indah. Ibu Gie mulai bersenandung, diikuti dengan ayahnya. Sungguh indah perpaduan suara gitar dengan suara mereka. Bahkan nyamuk yang sedari tadi sudah menunggu waktu yang tepat untuk menghisap darah mereka pun enggan mendekat, tidak mau pentas kecil ini terganggu karena ulahnya.
On a wagon bound for market
there’s a calf with a mournful eye.
High above him there’s a swallow,
winging swiftly through the sky.
Lagu dibuka oleh Cinde, ia menyanyi sambil melihat ke arah Roehana seakan sedang memberikan contoh dan meyakinkan Roehana untuk bernyanyi lepas bersama mereka.
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer’s night.
Karna Gita Surga yang dinamai sedemikian rupa karena ia merupakan pecinta musik sejak di dalam perut, yang awalnya mengaku tidak memiliki bakat musik ternyata juga pandai memproduksi nada-nada dengan suaranya.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Dan akhirnya pemeran utama pada malam hari ini, Roehana, pun membuka mulutnya, menunjukkan bakatnya dan meruntuhkan tembok kecanggungannya.
Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer’s night.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Mereka berempat menutup pentas kecil itu dengan tawa. Gie menghampiri Roehana, memeluknya dari samping dan mengusap kepalanya.
“That was great, Cantik.” puji Gie.
Roehana tersenyum, pipinya memerah. Karena malu, Roehana menyembunyikan kepalanya di dada Gie.
“Ngomong-ngomong soal lagu ini, liriknya bagus, ya.” ucap ayah Gie secara tiba-tiba.
Roehana dan Gie masih berada diposisi yang sama, hanya saja Roehana menghadapkan kepalanya ke sumber suara itu, ayah Gie.
“Soe Hok Gie mengartikan lirik lagu ini, begini: kita tidak boleh menerima nasib buruk dan menganggapnya sebagai jalan hidup yang sudah ditentukan bagi kita. Kita tidak boleh pasrah dan menerimanya sebagai kutukan. Kalau ingin hidup bebas, ya, kita harus belajar terbang.” sambung Karna.
“Tapi waktu mama seumur kalian, belajar terbangnya sulit, dibatasi pemerintah.” ucap Cinde, tersenyum. Senyumnya terlihat sangat terpaksa, seperti menyimpan sakit di baliknya.
“How was it, Ma, Pa? Living as a writer and a journalist at that time.” Roehana merasa agak lancang bertanya tentang ini, tapi ia tidak bisa menahan dirinya sendiri.
“Yang jelas waktu Orde Baru itu, ya, dibatasi sekali ruang berekspresi kita. Banyak sekali literatur yang dilarang pemerintah, terutama karya dari seniman LEKRA, dianggap sayap kiri. Kalau kamu mau jadi penulis, kamu harus menulis dengan sangat hati-hati agar tidak dituduh kiri atau makar. Kalau kamu jadi jurnalis, ya, pilihannya hanya menyebar kebohongan yang menguntungkan pemerintah agar tidak dihabisi, atau menulis dengan jujur dan berani tetapi hidup dalam pengasingan, akrab dengan banyak nama samaran, dan bersembunyi agar tidak mati.”
“Rezim Soeharto itu menyesakkan rakyat, Roe. Kami sering sekali menceritakan ini kepada Gie dan mengingatkan dia seberapa beruntungnya dia hidup di era ini.” tambah ayah Gie.
“Di film G30S PKI, Soeharto terlihat sebagai pahlawan. Padahal sebenarnya PKI dan Soekarno adalah korban.” ucapan ibu Gie ini terdengar seperti teka-teki.
Melupakan topik percakapan ini sebentar, Roehana menganggap cara Cinde dan Karna menyelesaikan kalimat satu sama lain ini sebagai hal yang sangat lucu, romantis, perasaan dan otaknya saling tersambung.
“Ya, G30S itu memang kudeta Soeharto terhadap pemerintahan Soekarno. Sewaktu era Soeharto, ia menjalankan operasi besar-besaran menumpas PKI, memperlakukan eks-PKI dan keluarganya seperti hama yang kotor. Pembantaian pun terjadi di mana-mana. Sedihnya lagi, yang dibantai bukan hanya PKI, tapi juga banyak rakyat biasa. Sekurang-kurangnya satu juta nyawa melayang.”
“That’s genocide.” balas Roehana, miris.
“Memang. Dan liciknya Soeharto membuat PKI, LEKRA, bahkan GEWANI dipandang rakyat sebagai organisasi yang sangat keji dan jahat. Padahal rezimnya jauh lebih mengancam hidup rakyat.”
“Itu cara Soeharto menggulingkan lawan politiknya. Pintar, tapi licik sekali.”
“But Soekarno’s time wasn’t all that fun too, was it?” Gie masuk ke dalam percakapan itu. Ia sedari tadi memilih untuk berdiam diri karena memang sudah sering membicarakan ini dengan kedua orang tuanya.
“Fun? Far from it.” ayah Gie menyeringai.
“Sekali lagi, mengutip Soe Hok Gie — see, this is why I named you after him, son. I really am a big fan of him — ia pernah mengatakan bahwa Soekarno itu memerintah Indonesia seperti raja-raja Jawa. Di setiap tindakannya, Soekarno bersikap seperti raja-raja dahulu. Beristri banyak adalah salah satu contohnya. Juga menjadi presiden seumur hidup Indonesia, sama seperti raja yang tidak akan turun dari takhta sebelum kematian menjemputnya.”
“They both have their own style of dictatorship.” Roehana memberi simpulan.
“True.” Gie menyetujui simpulan Roehana.
“Kamu tahu, Nduk. Saking seringnya Gie denger cerita tentang rezim Orde Lama dan Orde Baru, Gie sampai nggak mau bergabung ke organisasi.” celetuk ayah Gie sambil tertawa.
“Kecuali MAPALA! Mungkin…” ringis Gie, membela diri.
“Tapi, Gie. It’s way more dangerous fighting all alone.” Roehana sedikit khawatir dengan keputusan Gie ini, ia tahu seberapa beraninya Gie mengkritik pemerintah, ia tak mau hal-hal buruk terjadi kepada Gie.
“Ya, tapi aku bisa pertanggungjawabkan tindakanku sendiri tanpa mencelakakan orang lain.” sanggah Gie.
“Roehana nggak salah, memang kalau kamu punya teman, kamu akan lebih aman, semakin banyak massa, dukungan juga terus mengalir. Tapi Gie juga nggak salah, kalau kesalahan pribadi itu bisa merugikan orang lain dan menjadikan orang lain terlibat sesuatu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka, atau bahkan sampai ikut mempertanggungjawabkannya juga tidak baik. Tapi hidup itu pilihan, setiap orang punya pandangan masing-masing. Dan pandangan itu juga yang akan membantu mereka menentukan pilihannya, kan? Jadi, ya, terserah kalian.” cetus ayah Gie, seakan sedang melerai perdebatan.
“Tetapi Papa pesan, Gie, tetap hati-hati. Mulutmu harimaumu, ingat itu. Roehana, juga. Papa dengar Roehana suka dunia jurnalistik, ya? Papa berterimakasih karena kamu sudah menjadi anak muda yang berprestasi dalam bidang yang sama dengan Papa. Ingat, kamu punya pekerjaan itu juga berbahaya. Kamu yang tau di lapangan seperti apa, kamu tau banyak fakta yang berusaha disembunyikan pemerintah, tinggi resikonya. Jadi kamu juga harus hati-hati. Jadi jurnalis yang berintegritas, tulis apa yang kamu rasa kamu harus tulis dengan seadanya, sesuai dengan de facto. Kamu adalah Pewarta Kabar Malam, mengungkap gelapnya fakta dan bejatnya mereka yang sedang duduk diatas takhta. Ingat pesan Papa.”
Gie dan Roehana memiliki tujuan yang sama, walaupun jalan mereka berbeda. Tapi satu yang mereka tahu dan selalu ingat. Bahwa mereka yang ingin belajar terbang harus merasakan jatuh. Setidaknya mereka belajar, setidaknya mereka berjuang. Tidak pasrah dengan keadaan.
Maka bebas, bebaslah!
Terbang.
brought to you by,
© zumakore