Riwayat

Zoe Rahajoe
6 min readNov 13, 2021

--

Hari itu panas di Surabaya, seperti hari-hari biasanya. Entah apa yang membuat Gie memutuskan untuk mengajak Roehana pergi ke salah satu tempat bersejarah di kota mereka ini, the infamous Hotel Majapahit.

Hotel Majapahit (Hotel Oranje)

Di tempat ini terjadi insiden perobekan bendera tiga warna. Kemarahan rakyat dan pemuda memuncak pada tanggal 19 September 1945, minta agar bendera diturunkan. Pemuda S. Kasman bersama-sama dengan pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yaitu Roeslan dan Sumarsono berhasil menggerakkan rakyat untuk datang ke jalan Tunjungan.

Pemuda Kusno (pegawai kantor Kabupaten Surabaya) dengan segala rintangan dan ancaman dari pihak Belanda maupun serdadu Jepang mampu naik ke atas lalu menyobeknya dan menaikkannya kembali yang hanya tinggal merah putih dalam ukuran yang tidak seimbang.

Dari pihak Belanda yaitu r. Plugman tewas, tubuhnya robek-robek bekas tusukan senjata logam takeyari.

I knew the story behind this hotel, it’s very famous, tapi waktu baca sejarahnya langsung di tempat kejadiannya emang vibes-nya lebih kerasa, ya,” ucap Roehana, bergidik merinding.

I got goosebumps the whole time.”

“Eh, Roe, tapi kamu tau nggak, kalau dulu itu di dalam hotel ini ada museum penyobekan bendera, tapi waktu tahun 2006 ditutup dan diubah jadi bar?” tanya Gie, berusaha mencairkan suasana.

“Hah? Bar? Random banget?”

“Kalau dipikir-pikir, ya nggak terlalu random, sih. Kan fasilitas hotel berbintang.”

“Tapi serem tau, mabok di bekas museum!” protes Roehana, membuat Gie tertawa geli sebelum akhirnya mereka melanjutkan perjalanan mereka.

Di sepanjang Jalan Tunjungan ini dipenuhi oleh bangunan khas Belanda yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi toko musik, restoran, bahkan cafe. Walaupun begitu, suasana klasik dan lawas masih sangat kental di sini.

“Gie, is there any specific reason why you ask me to come here today?”

“Hahah, kan aku udah bilang tadi, aku random aja ngajak kamu ke sini. I just want to meet you,”

Gie berpikir, mengernyitkan alisnya. “But, on second thoughts, I think there is a specific reason why I choose this place…”

“Apa, tuh?”

“Hari Pahlawan membuat aku memikirkan tempat ini. Even though, kejadian perobekan bendera itu terjadi tanggal 19 September 1945. Call me crazy, but I swear, I can still feel their rage until now just by looking at the buildings,” jelas Gie sambil mengarahkan pandangannya ke hotel diujung Jalan Tunjungan itu.

The power of ‘Arek-arek Suroboyo’, panggilan yang sangat lekat bagi para pemuda-pemudi Kota Surabaya yang sangat terkenal dengan keberanian dan rasa pantang menyerahnya. Roehana and Gie definitely feel so proud to be one of them.

“Sebenarnya, salah satu alasan kenapa aku merasa mempunyai tanggung jawab untuk, you know, berjuang alongside the marginalized, mengubah stigma-stigma yang ada di masyarakat, menyebarkan ilmu ke orang lain walaupun hanya di sosial media itu karena melihat bangunan lawas seperti ini dan berusaha membayangkan bagaimana kondisi saat itu. Mereka berjuang untuk memerdekakan negara, tapi sekarang kita belum benar-benar merdeka, dan aku ingin mewujudkan cita-cita mereka, cita-cita kita semua, untuk merdeka.”

I won’t call you crazy, Gie. Cause I feel the same way when I look at these buildings around us. Mereka saksi bisu riwayat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah,” ucap Roehana, menatap mata Gie.

And it’s amazing actually, what you do on Twitter, educating a lot of people and criticizing the government.”

“Don’t you think it’s considered shitposting?” tanya Gie sambil mengerutkan alis.

“What do you mean? What you did there is actually making impact on other people! You are so brave for tweeting those things.” Roehana sebisa mungkin mencoba untuk meyakinkan Gie bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang benar.

“Banyak orang yang tanya sama aku di twitter, sepertinya karena mereka bingung atau cuma mau roasting aku, intinya mereka tanya kenapa aku selalu oposisi sama pemerintah. Mereka bilang, aku ikut milih wakil rakyat tapi kenapa waktu mereka sudah menjabat aku masih selalu mengkritik kerja mereka?”

“Emangnya kenapa?”

“Menurut aku, fungsi rakyat terutama di negara demokrasi seperti Indonesia itu, ya, untuk check and balance. Ketika aku memutuskan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin, aku akan memilih yang paling mending. No one is perfect, you know. Dan kita semua tau bahwa mereka yang nantinya terpilih, tidak akan melaksanakan janji-janji yang mereka sampaikan ke masyarakat ketika kampanye. Sebenarnya, banyak sekali keputusan-keputusan pemerintah yang baik dan patut diapresiasi, tapi juga banyak yang perlu kita kritisi dan perjuangkan. Sometimes they can’t set their priorites right. Dan kita sebagai masyarakat punya tanggung jawab untuk mengingatkan mereka. Apa gunanya asas “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” kalau rakyatnya tidak aktif mengoreksi kebobrokan pemerintah?” jelas Gie.

Sekali lagi, Roehana tidak habis dibuat kagum oleh cara berpikirnya.

Setelah menghabiskan waktu yang cukup banyak berjalan menyusuri Jalan Tunjungan, sekarang mereka sedang duduk di dekat salah satu gerobak penjual kaki lima sambil menunggu makanan mereka datang.

“Lho, Mas Havir, tumben gak sama mama?” sapa salah satu penjual kaki lima di sana.

“Mama lagi sibuk, pak. Hahahah.”

Oalah, yaudah. Salam ya buat mama. Yaudah kalau gitu, Mas Gie sama mbaknya selamat makan ya, saya duluan.” pamit penjual itu sebelum kembali ke tempatnya berjualan untuk melayani pelanggan.

“Kamu kok kenal banyak orang sih? Kemarin Pak Nur, sekarang di sini juga. Padahal aku gak pernah lihat kamu deket sama temen di kampus, tapi kamu malah akrab dengan banyak orang di tempat-tempat kaya gini.”

Roehana dibuat bingung karenanya. Gie memang dikenal banyak orang, sering mengobrol dan berdiskusi dengan mahasiswa lainnya, tapi Roehana tidak pernah tahu dan Gie pun tidak pernah cerita tentang teman dekatnya. Tidak ada yang salah dari hal itu, sih. Tapi Roehana penasaran karena setelah beberapa kali pergi dengan Gie, dia malah sering menemui Gie dekat dan akrab dengan para pedagang, satpam, pemilik warung, dan masih banyak lagi.

“Mama suka ajak aku ke tempat kaya gini. They were my mom’s friends first before mine, mama aku langganan mereka, akhirnya jadi akrab. Dan aku suka ngobrol sama mereka.” jelas Gie tersenyum.

“Oh, wow. Aku jadi pengen ketemu mama kamu, deh.”

“Iya, nanti aku bilangin mama, ya. Kita ke rumah. Ketemu sama papa juga, mau?”

“Mau!” jawab Roehana dengan heboh.

“Hahahha, okay.”

“Eh, permisi, Mas Gie. Ini dua-duanya pedes kan ya?” tanya penjual nasi goreng yang baru akan membuat pesanan mereka.

“Iya, pak.” jawab Gie.

“Okedeh!” balas penjual itu sambil mengacungkan kedua jempolnya.

“Oh, iya… Mas Gie, tau nggak kalau trotoar di depan kantornya Maxime itu dibongkar lagi? Padahal kan beberapa bulan lalu barusan diperbarui, ya?” ucap penjual nasi goreng itu memulai topik.

“Oh iya kah? Saya baru tau, pak. Tapi kayanya emang sengaja, deh, pak. Akhir tahun soalnya, anggaran biar pada turun, hahahah.”

“Iya mas, tapi walaupun begitu kan ya masih banyak jalan yang memang sangat perlu perbaikan, kenapa malah bongkar trotoar yang udah bagus?” keluh penjual itu.

Roehana sedikit kaget dengan percakapan ini, sekarang dia mengerti apa yang dibicarakan Gie terakhir kali mereka bertemu.

“Bener banget, pak. Bapaknya lebih pinter daripada pemkot, nih!” puji Gie sambil tertawa.

Melihat interaksi itu, Roehana bisa membenarkan apa yang Gie bilang saat mereka baru pertama kali bertemu. Sebenarnya, mereka tahu apa yang sedang terjadi, bahkan mereka melihatnya secara langsung. Tapi, mereka merasa mereka tidak akan digubris oleh pemerintah, jadi mereka memutuskan untuk lebih baik fokus mencari nafkah saja.

Setelah menghabiskan makanan mereka dan berpamitan, mereka pun kembali berjalan menyusuri jalan sekitar. Roehana berjalan di sebelah kanan dekat dengan kendaraan yang berlalu-lalang, sedang Gie dibelakangnya. Gie menarik tangan Roehana dan memindahkannya ke sisi kiri agar perempuan kesayangannya itu tidak terserempet kendaraan disebelahnya. Lalu Gie menggandeng tangan Roehana.

“Kamu kenapa, sih?” tanya Roehana, malu tapi mau.

“Biar kamu gak hilang!” canda Gie, mengundang tawa mereka berdua.

Satu hal yang menjadi kesamaan mereka adalah they love sightseeing. Mereka suka sekali berjalan menikmati pemandangan sambil mengobrol dan bercanda. Topiknya asal, tapi mereka selalu bisa mengerti satu sama lain.

“Aku tuh paling gak suka sama orang yang kalo nyanyi Indonesia Raya gak serius! Sumpah, gimana ya ngomongnya? Our founding fathers went to hell and back just so they can sing that song freely and proudly. Hal paling kecil yang kamu bisa lakukan untuk menghargai jasa mereka adalah untuk menghayati lagu nasional kita. Liriknya indah banget, bagus banget. I teared up when I sing the whole song, 3 stanza.” Roehana meracau dan Gie memperhatikan di sebelahnya.

Gie selalu suka ketika Roehana meluapkan isi hatinya. Pemikirannya bagus, penyampaiannya lucu karena seperti sedang mengomel, tapi Gie paham bahwa itu adalah cara Roehana mengekspresikan dirinya, dan Gie suka, sangat suka. Gie selalu menatap Roehana dengan sangat dalam, dia bangga dengan perempuan di sampingnya itu. Perempuan pintar, mandiri, tegas, unik, he can go on and on just to compliment her. Gie selalu mengapresiasi semua hal yang dilakukan oleh Roehana. Gie rasa Roehana pantas mendapatkan itu.

When Roehana’s friend told her to make him fall for her first, they don’t know that Gie already fell, hard.

brought to you by,

© zumakore

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Zoe Rahajoe
Zoe Rahajoe

Responses (3)