The Woe

Asap rokok yang mengepul menutupi wajah kecil itu memudar secara perlahan, mengungkap rahasia yang ditutupinya. Ujung kedua mata puan itu basah, bibirnya bergetar, helai rambutnya rusuh tak keruan, badai seperti sehabis menerjang parasnya. Angin kencang yang datang bersama dingin menerjang tubuh pucat itu seakan berusaha meredakan tangis, sekaligus menusuk tulangnya. Di ketinggian ini semuanya terlihat lebih kecil, kendaraan yang berlalu lalang menyusuri jalan menuju tujuannya masing-masing mengisi keheningan malam, suara bising itu adalah satu-satunya teman yang Lorraine punyai saat ini.
Terhitung sudah delapan bulan performa kehidupannya menurun. Hidupnya sekarang bergantung pada obat yang bisa mengatur hormonnya agar otaknya dapat berfungsi dengan baik untuk kebutuhan pekerjaan, hanya itu prioritasnya. Ia pukul mundur semua orang yang mendekatinya, apapun alasannya. Hidup sebatangkara di salah satu unit apartemen milik orangtuanya–yang beruntungnya ada di satu kawasan yang sama dengan hotel tempatnya bekerja. Yang orangtuanya tahu, alasannya untuk tinggal di sana adalah karena ia malas jika harus menyetir kendaraan dari rumah ke tempat kerjanya, sedangkan kalau ia tinggal di apartemen, ia hanya harus berjalan kaki menuju gedung hotelnya yang tersambung melalui mall yang sama dengan tower apartemennya. Nyatanya, alasan utama Lorraine memilih untuk tinggal seorang diri adalah karena ia tidak cukup waras untuk bisa berinteraksi dengan manusia lain.
Dengan kecakapan yang dimilikinya, sekarang Lorraine berhasil mendapatkan pekerjaan di salah satu hotel ternama di Surabaya. Untuknya bisa ada di titik ini, menjadi Service Express Supervisor adalah salah satu dari banyaknya pencapaian yang dapat ia banggakan.
Dianugerahi dengan kepercayaan dan tanggung jawab bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Berat, sangat berat, semua ekspektasi seakan dilimpahkan padanya. Bukannya tidak bersyukur, sungguh, apresiasi setinggi-tingginya ia ucapkan pada Tuhan dan semua yang telah mendukungnya hingga ia bisa berada di titik ini. Ia tahu bahwa banyak sekali orang yang ingin berada di posisinya sekarang, maka dari itu ia tidak akan mengecewakan segala pihak–terutama dirinya sendiri–dalam menjalankan tugasnya.
Hanya saja, ia berada di ekosistem pekerjaan yang membuatnya tidak nyaman dan tertekan. Setiap harinya, ia harus berhadapan dengan atasan yang terlalu mengatur pekerjaan–bahkan hidupnya. Ia harus selalu ada dan siap menerima segala tugas yang diperintahkan kepadanya kapanpun dan di manapun. Di hari liburnya, Lorraine harus tetap datang ke kantor hanya untuk mengikuti meeting yang sebenarnya juga tetap bisa berjalan jika dirinya tidak berada di sana. Semua hal kecil terus dipermasalahkan, kritik datang bertubi-tubi dari segala bagian.
Ia rasa ia adalah nahkoda, tapi ia juga tidak memliki otoritas penuh dalam menentukan keputusan dalam perjalanannya. Jiwanya kosong, tak berisi. Nihil. Hanya dapat ditemukan sepercik ambisi yang membara dalam hatinya yang tak bertuan itu.
Sedari dulu, Lorraine selalu menganggap bahwa ia tidak bisa mengandalkan orang lain untuk menjalankan hidupnya. Ia tidak butuh teman yang harus selalu ada untuknya, lagipula tidak ada satupun orang yang dapat ia percaya. Rasa-rasanya, hatinya juga tidak perlu empu, karena Lorraine sendiri juga tidak mengerti apakah hatinya masih bisa berfungsi dengan baik seperti dulu.
Ia tahu ia bisa berjalan sendiri, hanya bersama dirinya sendiri.
Tapi kalau saja, kalau saja ada yang bisa ia percaya untuk menumpahkan segala isi hatinya, kalau saja ada yang bersedia mendengarkan seluruh muatan otaknya, memberikan setidaknya sedikit kenyamanan, mungkin ia bisa berdiri setegak dulu.
Kalau saja ada, mungkin ia bisa bertahan hidup lebih lama di dunia.
Kalau saja ada.
brought to you by,
© zumakore