Yang Dulu Kukira Esa

Zoe Rahajoe
4 min readMar 7, 2022

--

Setiap dari kita pasti punya seseorang yang dulunya karib dan kita duga akan terus berada di sisi kita sampai sama-sama kembali ke tanah, tapi karena desakkan dunia akhirnya harus terasing dari kehidupan satu sama lain.

Kurang lebih 12 tahun lamanya, lebih dari setengah hidupku aku habiskan bersama dia yang dulu kukira esa, tunggal, dan tak tergantikan. Tak pernah teringat pasti kapan aku mulai mengenal dia, tetapi memori paling dini yang muncul tentangnya hanyalah bahwa sedari orok kita sudah mengenal nama satu sama lain.

Sebelum kau kira cerita ini adalah cerita romansa remaja tentang cinta yang berpangkal dari persahabatan sejak kecil, aku tegaskan bahwa cerita ini bukan tentang itu. Bahkan, rasanya aku belum mengenal kata cinta sebagai sebuah sesuatu yang lebih dari perasaan platonik pada saat itu.

Aku dan dia sangat terbiasa dengan eksistensi satu sama lain. Datang dari latar belakang keluarga yang kurang lebih sama, sifat yang juga tidak terlalu jauh berbeda, dan punya banyak kesamaan dalam hal ketertarikan membuatku tidak pernah sedetikpun mengira bahwa saat ini, saat kita mulai beranjak dewasa, asing adalah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan hubunganku dan dia. Namun itulah kenyataannya, kata “dan” di antara nama satu sama lain adalah jarak terdekat kita. Bahkan aneh bagiku menggunakan kata kita. Sejauh itu ya ternyata?

Seorang laki-laki kecil berhidung mancung, mata cokelat gelap yang tak pernah berhenti berbinar, dan tangan kecil yang selalu memegang boneka teddy bear kesayangannya adalah bayangan yang muncul di kepalaku setiap kali mendengar namanya, Aaron Wilopo. Untukku — khusus aku, aku memanggil dia dengan zhongwen ming atau namanya dalam bahasa Mandarin, 黄爱润 (Huáng àirùn). Dan untuk kemudahan pribadi, aku hanya memanggilnya dengan kata 爱 (ài) yang lucunya — entah kebetulan atau disengaja oleh si pembuat nama, berarti cinta dalam bahasa Mandarin.

Aku dan dia benar-benar bertumbuh bersama, tak ada hari tanpa Aaron dan Zevanya bermain bersama. Suatu kesamaan yang aku dan Aaron punyai adalah kita berdua ahli dalam mentransformasi tempat yang mulanya rapi dan tersusun menjadi terlihat seperti kapal pecah. Kita adalah mimpi buruk setiap asisten rumah tangga.

Jika ditanya tentang memori favorit dengan Aaron, jujur sampai sekarang aku belum bisa menjawab. Bukan karena tidak punya, tapi menurutku semua memori tentangnya di otakku sangat istimewa. Mungkin karena rindu, aku juga tidak terlalu paham dengan jalan pikiranku. Yang aku ingat hanyalah bahwa setiap harinya aku dan dia akan menyerbu mainan, berebut makanan, dan berbagi ranjang untuk tidur siang.

Kini umurku menginjak 17 tahun, begitu juga dengan Aaron. Rumah kita masih dekat, tapi kita sudah jauh. Aku masih punya nomornya di ponselku — dengan nama panggilan yang kuberikan saat kita masih kecil, walau sepertinya sudah tidak pantas lagi aku memanggil dia dengan nama itu. Maksudku, siapa aku di hidupnya sekarang? Yang bisa kulakukan hanyalah mereka-reka peristiwa apa yang terjadi di hidupnya lewat Instagram Story yang dia unggah.

Nyatanya, latar yang sama bukanlah sebuah jaminan keberlangsungan sebuah hubungan. Aku menganggap ini semua sebagai bagian dari perjalanan menuju kedewasaan. Pada akhirnya yang bersua pasti akan bersurai. Sama seperti sepatu merah jambu berenda favoritku yang sudah tak bisa kukenakan karena ukuran kakiku yang semakin besar, mau seberapa kerasnya inginku untuk memakainya, sepatu itu sudah tidak akan menjadi sama lagi, sudah waktunya diikhlaskan.

Aku harus legowo dalam melepaskan apa yang pernah menjadi bagian dalam masa laluku. Tapi satu yang tak bisa terelakkan, aku akan selalu melihat sekelebat diriku dalam dirinya.

Jarum jam menunjukkan pukul satu lebih tujuh menit, aku mendengar suara mobilnya melewati rumahku. Terpanggil aku untuk mengintip di jendela. Di situlah kutemukan dia, turun dari mobil BMW putih kesayangannya yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari ayah ibunya.

Dia tak perlu tahu, tapi sampai sekarang aku masih sering menyebut namanya dalam doaku. Aku masih berharap dalam diam, semoga kita memang asam dan garam yang nantinya akan bertemu di belanga. Entah kapan dan di mana belanga itu kelak, aku yakin alam punya perhitungan spesial terhadap waktu dan tempat yang tepat untuk kita. Namun bila kita sudah ada di ujung cerita, aku harap semoga selalu terang jalanmu. Hati-hati di jalan, Ai. Aku tak akan terus ada di sampingmu, tak bisa juga aku berjalan di sampingmu. Tapi semoga bisa selamat sampai tuju.

Tak sadar sudah lama aku mengamati dia lewat jendelaku, sepertinya dia sadar bahwa aku sedang mengamatinya dari kejauhan, langsung kututup tiraiku secepat kilat dan kusembunyikan diriku di bawah bantal.

“Bodoh!” umpatku pada diri sendiri.

Getaran dan suara notifikasi dari ponselku membuyarkan kekesalanku terhadap diriku sendiri. Mataku membelalak saat menyadari nama itu muncul dari layar ponselku;

vanya

kamu ngapain ngeliatin aku dari jendela?

Aku sangsi ini nyata.

brought to you by,

© zumakore

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Zoe Rahajoe
Zoe Rahajoe

Responses (3)